I.
Pendahuluan
Pada
dasarnya dakwah Islam merupakan perilaku muslim dalam menjalankan Islam sebagai
agama dakwah, yang dalam prosesnya melibatkan unsur da’i, pesan dakwah, metode
dakwah, media dakwah, mad’u (sasaran dakwah) dalam tujuannya melekat cita- cita
ajaran Islam yang berlaku sepanjang zaman dan di setiap tempat. Masyarakat yang
dibimbing melalui dakwah, hidupnya akan teratur, banyak melahirkan kebaikan dan
oleh karena itu secara historis ia akan terus eksis. Adapun masyarakat yang
tidak dibimbing dakwah, hidupnya semrawut, melahirkan banyak kejahatan dan oleh
karena itu akan punah.
Dari
sini, maka tujuan utama dakwah adalah mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup di dunia dan di akhirat yang diridhoi oleh Allah swt. yakni dengan
menyampaikan nilai-nilai yang dapat mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan
yang diridhoi oleh Allah swt. sesuai dengan segi atau bidangnya masing-masing.
Dalam upaya menjadikan dakwah sebagai sarana untuk mengajak manusia ke jalan
Ilahi, supaya dakwah mampu diterima oleh seluruh manusia sepanjang zaman, maka
pergerakan dakwah harus jeli dan peka dalam menatap segala persoalan kemasyarakatan.
Sangat perlu diperhatikan dalam penyebaran dakwah adalah pemilihan media
sebagai sarana penyaluran pesan-pesan dakwah. Berarti perkembangan media dakwah
harus sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban
manusia, supaya dakwah Islam mampu mewarnai ke seluruh aspek kehidupan manusia.
Media dakwah merupakan komponen yang sangat penting dalam pencapaian tujuan dan
sasaran dakwah. Di era modern seperti sekarang ini sudah menjadi keharusan bagi
juru dakwah untuk memanfaatkan segala teknologi yang ada untuk mempermudah
pencapaian tujuan dakwah dan sasaran dakwah. Tanpa memanfaatkan media-media
yang ada dakwah tidak akan mengalami kemajuan. Justru itu para penyelenggara
dakwah harus arif dalam menempatkan media-media yang dapat menunjang kelancaran
dakwah.[1]
Media
ialah alat atau wahana yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber
kepada penerima. Untuk itu komunikasi bermedia adalah komunikasi yang
menggunakan saluran atau sarana untuk meneruskan suatu pesan kepada komunikan
yang jauh tempatnya dan atau banyak jumlahnya. Media komunikasi banyak sekali
jumlahnya mulai yang tradisional sampai yang modern misalnya kentongan, beduk,
pagelaran kesenian, surat kabar, papan pengumuman, majalah, film, radio dan
televisi. Dari semua itu, pada umumnya dapat diklasifikasikan sebagai media
tulisan atau cetak, visual, aural dan
audiovisual. Masing-masing media tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing.
Dan
penggunaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Salah satu media komunikasi
yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah atau ajaran Islam
kepada khalayak umum adalah televisi. Dewasa
ini televisi boleh
dikatakan telah mendominasi hampir semua waktu luang setiap
orangDalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, fungsi melaksanakan kontrol
sosial terutama dapat dilihat dalam bentuk memberi evaluasi pengawasan dan
kritikan terhadap upaya pembangunan bangsa. Aspek lain yang tak kalah
pentingnya, yaitu televisi sebagai media promosi dalam memperkenalkan produk
barang dan jasa kepada masyarakat, serta televisi dapat berfungsi sebagai media
hiburan untuk memperoleh kenikmatan jiwa dan estetika. Karena kemampuannya
dalam “menyihir” pemirsa, televisi mendapat julukan-julukan seperti kotak
ajaib, electronic baby sitter, narkotik elektronik, “tuhan kedua” atau bahkan
“tuhan pertama.” Julukan terakhir dapat dipahami mengingat TV dianggap sebagai
sesuatu yang terpenting dalam kehidupan manusia dan karenanya sangat
mendominasi kehidupan mereka, seraya menyisihkan kegiatan- kegiatan lain.[2]
Kebanyakan
orang mungkin menghabiskan lebih banyak waktu untuk menonton TV daripada
beribadah, misalnya salat dan mengaji. Sebagai “tuhan” TV diletakkan pada
tempat sentral di rumah. Bila orang membeli TV baru, maka begitu TV baru itu tiba
di rumah, pemilik rumah serta-merta akan bertanya pada diri sendiri, “Akan
diletakkan di mana TV tersebut?” Jawabannya ya itu tadi, pada tempat yang
paling strategis, seakan-akan TV adalah “tuhan” atau “dewa”
Perkembangan
tersebut lebih marak lagi setelah pelarangan monopoli tahun 1999. Dengan
kecanggihan dan dampak televisi pada setiap orang yang menontonnya, maka
penggunaan televisi sebagai media dakwah sangat efektif dilakukan walaupun
tentu ada kekurangan di sana-sini, tetapi tidak mengurangi semangat untuk tetap
menggunakan televisi sebagai media komunikasi dakwah.
II.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana
Sejarah Media Televisi?
2. Bagaimana
Perkembangan Media Televisi di Inodnesia?
3. Bagaimana
Metode Dakwah Melalui Media Televisi?
4. Apa
Kelebihan Dakwah Melalui Media Televisi?
5. Apa
Kekurangan Dakwah Melalui Media Televisi?
III.
Pembahasan
1. Sejarah
Media Televisi
Televisi terdiri
dari istilah “tele” yang berarti jauh dan “visi” (vision) yang berarti
penglihatan. Segi “jauh”-nya diusahakan oleh prinsip radio dan segi “penglihatan”-nya
oleh gambar. Tanpa gambar tak mungkin ada apa-apa yang dapat dilihat. Para
penonton dapat menikmati siaran TV , kalau TV tadi memancarkan gambar. Dan
gambar-gambar yang dipancarkan itu adalah gambar-gambar yang bergerak (dalam
hal tertentu juga gambar diam, still picture). Dan prinsip dari penggerakan
gambar itu adalah film.
Penemuan
televisi dimulai oleh seorang berkebangsaan Jerman bernama Paul Nipkow pada
tahun 1884, kemudian Charles F. Jenkins di AS pada tahun 1890. Studi dimulai
dengan pengiriman sinyal gambar secara elektromagnetis dapat dilakukan melalui
tabung sinar katoda tahun 1884, kemudian penemuan kutub elektroda pengatur arus
tahun 1904 dan pelepasan neon tahun 1917.Televisi adalah sistem elektronik
untuk memancarkan gambar bergerak (moving images) dan suara kepada receivers.
Sejak tahun 1930 mulai penyiaran televisi menemani radio, dan secara aktif
siaran televisi dimulai 1947. Menyertai berbagai perkembangan komponen teknis
di negara-negara seperti Inggris, Eropa, Uni Soviet, dan Amerika Serikat,
televisi sampai dinilai sangat memungkinkan pada tahun 1931. Pada tahun ini
penelitian yang dibuat di Inggris oleh Isaac Shoenberg, seorang yang
berpengalaman dalam urusan transmisi radio di Uni Soviet, ditugaskan melakukan
pengembangan penyiaran televisi. Standard Shoenberg’s tersebut kemudian
diadopsi oleh BBC yang di-launching pertama kali di London tahun 1936.[3]
Pada awalnya
perkembangan televisi sangat tersendat-sendat, hal itu terjadi karena Negara
yang saat awal televise diketemukan dan diupayakan untuk dikembangkan sedang
mengalami perpecahan yang menjadikan timbulnya perang dunia II, akibatnya
penemuan-penemuan system televisi yang berkaitan dengan perkembangan tekhnologi
militer, sangat tersendat bahkan terhenti. Karena itu, kebangkitan televisi
sangat dirasakan setelah tahun 1950 dimana teknologi radar dan penggunaan
pemancar berkekuatan tinggi seperti, Very High Frequency (VHF) dan Ultra High
Frequency (UHF) yang tadinya dimonopoli pihak militer, diizinkan untuk
dikembangkan bagi kepentingan sipil.[4]
2. Perkembangan
Media Televisi di Inodnesia
Di Indonesia,
televisi pertama kali
diperkenalkan pada tahun 1962,
ketika Indonesia mendapat kehormatan untuk menyelenggarakan pesta olahraga
Asian Games di Jakarta. Waktu itu jangkauan siaran TVRI baru mencakup Jakarta
dan Bogor serta daerah sekitarnya yang berada dalam radius 80 km, sedangkan
waktu siaran baru 2 jam per hari. Tetapi dengan penambahan jaringan 200 km
dengan kapasitas transmitter 25 watt, maka liputan TVRI telah dapat diterima di
Bandung dan beberapa daerah lainnya di Jawa Barat. Tiga tahun sesudah
beroperasinya TVRI stasiun Jakarta, stasiun
TVRI Yogyakarta diresmikan
pemakaiannya pada tahun 1965, menyusul pembangunan stasiun TVRI
daerah lainnya, seperti Medan (1970), Ujung Pandang (1972), dan Palembang
(1974). Dengan digunakannya satelit komunikasi Palapa sejak tahun 1976, pemilik
media TV di Indonesia menanjak sangat tajam (Cangara, 2012: 158-159). Industri
televisi di Tanah Air baru mengalami perubahan di akhir tahun 1980-an. Era
televisi swasta nasional hadir. Pada tahun 1989, lahirlah televisi swasta
pertama RCTI di bawah manajemen bisnis PT Bimantara Citra, milik Bambang
Trihatmojo. Keberadaan RCTI kemudian diikuti oleh berdirinya stasiun swasta
nasional yang berlokasi di Surabaya, yakni SCTV pada tahun 1990. SCTV dikontrol
oleh PT Surya Cipta Televisi awalnya, yang dimiliki oleh pengusaha
Sudwikatmono, Henri Pribadi dan kepemilikan sahamnya juga beberapa dikuasai
oleh putri Soeharto, yakni Siti Hediyati atau lebih dikenal dengan Titik
Soeharto. Berikutnya, muncullah Indosiar TV pada tahun 1992 yang dimiliki oleh
Sudono Salim, kemudian Aburizal Bakri dan Agung Laksono fungsionaris Golkar
juga mendirikan ANTV pada tahun 1994. Tidak ketinggalan pula, pengusaha Surya
Paloh yang juga pemilik Media Indonesia Grup, mendirikan televisi berita, Metro
TV pada tahun 1994. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an, beberapa televisi swasta nasional pun
mulai berdiri di
Indonesia.
TransTV dimiliki oleh pengusaha pribumi dan pemilik Para Grup, Chairul Tanjung.
Lativi yang dimiliki oleh mantan menteri Soeharto kala itu, yakni Abdul Latief.
Lativi akhirnya bangkrut dan diambil alih oleh Bakrie Grup yang berganti nama
menjadi TVOne. Sementara itu, Kompas Grup juga mendirikan, yakni TV7. Namun,
tidak bertahan lama, kemudian TV7 di merger oleh Chairul Tanjung dari Para Grup
menjadi Trans7. Mulailah bisnis televisi di Tanah Air menjadi lebih kompetitif
karena mereka harus berebut kue iklan yang ada (Subiakto dan Ida, 2012:
138-139). Kalau tadinya hanya TVRI sebagai satu-satunya saluran televisi resmi
pemerintah di Indonesia, maka sejak digulirkannya regulasi baru dalam bidang
penyiaran dan media massa sebagai hasil reformasi yang dicanangkan sejak tahun
1997, jumlah stasiun televisi di Indonesia baik di Jakarta maupun di
daerah-daerah berkembang sangat pesat, ditambah lagi jaringan televisi kabel
dengan siaran- siaran yang mengglobal dengan sajian berbagai macam acara. Semua
ini pertanda bahwa industri komunikasi di Indonesia makin maju (Cangara, 2012:
159). Pertumbuhan industri media massa, seperti televisi di Indonesia,
sedikitnya ditandai oleh tiga hal. Pertama, pengelolaan usaha di bidang media
massa tidak lagi dilakukan dalam bentuk yayasan yang berasaskan aspek
idealisme, sudah menjadi perubahan tambahan yang dikelola oleh sistem manajemen
profesional dan penggunaan produk-produk teknologi canggih yang sudah mengarah
pada “komersialisasi.” Kedua, semakin banyak para pengusaha nasional atau lazim
disebut para “konglomerat” yang menanamkan modalnya di bidang usaha media
massa. Ketiga, media massa yang ada sangat beragam bentuknya dan mengarah pada
spesialisasi.[5]
3. Metode
Dakwah Melalui Media Televisi
Di dalam
pelaksanakan program dakwah Islam melalui media TVRI ada beberapa metode dan teknik
dakwah yang dipergunakan, yaitu :
a. Metode
Ceramah (Talking Method)
Metode ceramah adalah suatu cara
penyajian materi dakwah oleh da’i kepada mad’u dengan menggunakan lisan, atau
banyak diwarnai oleh ciri/ karakteristik bicara oleh seorang da’i/mubaligh.
Metode ceramah adalah sebagai salah satu metode berdakwah yang paling sering
dipergunakan oleh para da’i termasuk juga oleh para utusan Allah di dalam
menyampaikan risalah-Nya. Metode tertua yang lazim digunakan dalam berbagai
macam situasi inilah yang paling sering juga dipergunakan untuk dakwah melalui
media televisi pada era TVRI bahkan sampai era sekarang, seperti dalam acara
Mimbar Agama Islam. Program-program mimbar seperti ini di dalam televisi
biasanya termasuk dalam program talk show atau the talk show program.
Ada berbagai teknik berdakwah di era TVRI yang dengan mempergunakan metode ceramah ini, yaitu :
Ada berbagai teknik berdakwah di era TVRI yang dengan mempergunakan metode ceramah ini, yaitu :
1) Teknik
Uraian (The Talk)
Dakwah dengan teknik
uraian adalah teknik penyampaian materi dakwah oleh seorang da’i/mubaligh
dengan ceramah (memberikan uraian) melalui media televisi dalam durasi tertentu
secara sendirian (monolog), tanpa ilustrasi gambar lain yang berganti-ganti. Teknik
ini sebenarnya, sebagaimana teknik ceramah di panggung, cuma bedanya ini di
dalam studio, di-shoot dan direkam, kemudian disiarkan kepada pemirsa.
2) Teknik
Wawancara (Interview)
Dakwah dengan teknik wawancara adalah teknik penyampaian materi dakwah dengan lisan/ceramah melalui media televisi, yang dilakukan oleh dua orang (dialog), yang satu bertindak sebagai pewancara (interviewer) dan yang satu bertindak sebagai nara sumber, yang membahas mengenai materi dakwah tertentu.
Dakwah dengan teknik wawancara adalah teknik penyampaian materi dakwah dengan lisan/ceramah melalui media televisi, yang dilakukan oleh dua orang (dialog), yang satu bertindak sebagai pewancara (interviewer) dan yang satu bertindak sebagai nara sumber, yang membahas mengenai materi dakwah tertentu.
b. Metode
Sisipan/Selipan (Infiltration Method)
Metode susupan/ selipan (infiltrasi) adalah penyampaian materi dakwah dengan cara disusupkan/diselipkan pada acara-acara televisi (umum) yang lain, yang tanpa terasa bahwa pesan dakwah (jiwa agama Islam) masuk dalam program tersebut. Metode dakwah dengan susupan/selipan pada era TVRI masih sedikit sekali kuantitasnya dan dari segi kualitas juga belum baik. Metode infiltrasi ini biasanya dimasukkan dalam acara/program seni dan budaya. Program seni budaya di televisi yang sering disusupi dakwah diantaranya seni pertunjukan, yaitu seni musik, seni tradisional (wayang, ketoprak, ludruk, lenong dan lain-lain) dan sedikit dalam seni drama dan film.[6]
Metode susupan/ selipan (infiltrasi) adalah penyampaian materi dakwah dengan cara disusupkan/diselipkan pada acara-acara televisi (umum) yang lain, yang tanpa terasa bahwa pesan dakwah (jiwa agama Islam) masuk dalam program tersebut. Metode dakwah dengan susupan/selipan pada era TVRI masih sedikit sekali kuantitasnya dan dari segi kualitas juga belum baik. Metode infiltrasi ini biasanya dimasukkan dalam acara/program seni dan budaya. Program seni budaya di televisi yang sering disusupi dakwah diantaranya seni pertunjukan, yaitu seni musik, seni tradisional (wayang, ketoprak, ludruk, lenong dan lain-lain) dan sedikit dalam seni drama dan film.[6]
Sedangkan dalam stasiun televisi selain memberikan
angin segar bagi dunia dakwah (karena bertambahnya media dakwah), hal ini juga
merupakan tantangan tersendiri bagi aktifis dakwah dalam mempergunakan media
ini untuk kegiatannya. Karena orientasi dan tujuan didirikannya televisi swasta
jelas berbeda dengan didirikannya TVRI. Beberapa televisi swasta didirikan
lebih banyak berorientasi bisnis, sehingga waktu siaran yang tersedia sangat
berharga sekali jika dihitung dengan nilai uang. Makanya hal ini menuntut
kreatifitas para praktisi televisi swasta yang masih mempunyai komitmen dalam
dakwah Islamiyah, untuk membuat program-program dakwah yang lebih bervariasi
baik metode maupun tekniknya. Karena tanpa adanya metode dan teknik dakwah yang
bervariasi, justru akan mengakibatkan program dakwah tersebut ditinggalkan oleh
pemirsa; yang akhirnya juga berimbas pada pemasukan iklan pada acara-acara
dakwah.
Sementara itu dari pengamatan penulis mengenai
metode dan teknik dakwah yang digunakan di era televisi swasta ada beberapa
perkembangan dibandingkan dengan metode dan teknik dakwah yang dipergunakan
pada era /periode TVRI. Sebenarnya secara garis besar metodenya masih sama
dengan di era TVRI, akan tetapi dari segi teknisnya banyak perkembangan sejalan
dengan perkembangan industri pertelevisian di Indonesia. Adapun beberapa metode
dan teknik dakwah yang dipergunakan tersebut adalah seperti :
·
Metode Ceramah (Talking Method)
Metode dakwah dengan ceramah
melalui televisi di era televisi swasta pada dasarnya sama dengan yang pernah
dilakukan di era TVRI dan bukan berarti teknik dahulu itu tidak dipakai untuk
masa era televisi swasta (sekarang).
·
Metode Berita (News Method)
Dalam pengertian sederhana program
berita (news) sebagai metode dakwah adalah suatu sajian laporan berupa fakta
dan kejadian yang berhubungan dengan dunia ke-Islaman yang mempunyai nilai
unusual, factual, esensial dan disiarkan melalui televisi secara periodik.
·
Metode Infiltrasi (Infiltration Method)
Metode dakwah dengan infiltrasi di
era televisi swasta ini lebih variatif, dikarenakan ragam acara lebih banyak
dibandingkan ketika era TVRI. Masing-masing stasiun televisi dituntut untuk
lebih kreatif membuat program-program unggulan dan berkualitas agar tidak
ditinggalkan oleh pemirsanya. Namun yang patut disayangkan bahwa program yang
dibuat oleh masing-masing stasiun televisi itu lebih banyak untuk kebutuhan
hiburan bagi pemirsanya, dan mempertimbangkan faktor komersialnya (ada nilai
untung atau tidak). Dengan melihat gejala yang semacam ini maka bagi praktisi
televisi yang masih mempunyai komitmen terhadap misi dakwah Islamnya harus
lebih kreatif lagi dalam menyusupkan nilai-nilai ke-Islaman ini dalam
program-program hiburan tersebut.
Oleh karena itu pada era televisi swasta sekarang, selain sebagaimana pada era TVRI, banyak program-program baru yang dapat disusupi materi dakwah. Pada program seni budaya, selain seni pertunjukan seperti musik dan kesenian tradisonal yang kembali populer sekarang, juga sudah ada beberapa televisi yang meliput seni pameran ke-Islaman, seperti Festifal Istiqlal, yang disitu di pamerkan benda-benda ke-Islaman. Kemudian program baru lain yang ketika era TVRI belum ada adalah program sinetron. Sinetron kepanjangan dari sinema elektronika semacam film dan drama televisi, yang secara teknis pembuatan dan penayangannya berbeda. Sinetron-sinetron dengan tema ke-Islaman ini sementara hanya masih sering di tayangkan pada bulan ramadhan (Seperti Do’a membawa berkah), sedangkan pada waktu-waktu di luar ramadhan masih kurang.[7]
Oleh karena itu pada era televisi swasta sekarang, selain sebagaimana pada era TVRI, banyak program-program baru yang dapat disusupi materi dakwah. Pada program seni budaya, selain seni pertunjukan seperti musik dan kesenian tradisonal yang kembali populer sekarang, juga sudah ada beberapa televisi yang meliput seni pameran ke-Islaman, seperti Festifal Istiqlal, yang disitu di pamerkan benda-benda ke-Islaman. Kemudian program baru lain yang ketika era TVRI belum ada adalah program sinetron. Sinetron kepanjangan dari sinema elektronika semacam film dan drama televisi, yang secara teknis pembuatan dan penayangannya berbeda. Sinetron-sinetron dengan tema ke-Islaman ini sementara hanya masih sering di tayangkan pada bulan ramadhan (Seperti Do’a membawa berkah), sedangkan pada waktu-waktu di luar ramadhan masih kurang.[7]
4. Kelebihan
Dakwah Melalui Media Televisi
Perkembangan dan perubahan media televisi, baik dalam
programnya maupun dalam peningkatan teknologi barunya, akan menawarkan cara
baru bagi publik
dalam pemanfaatan sarana televisi di masa mendatang. Pada
gilirannya, sangat mungkin apabila pola konsumsi informasi yang baru ini juga
akan berakibat pada pembentukan gaya hidup para pemilik dan penonton TV.
Bahwa televisi mempunyai daya tarik yang kuat tak perlu
dijelaskan lagi. Kalau radio mempunyai daya tarik yang kuat disebabkan unsur
kata-kata, musik dan sound effect, maka TV selain ketiga unsur tersebut juga
memiliki unsur visual berupa gambar. Dan gambar ini bukan gambar mati,
melainkan gambar hidup yang mampu menimbulkan kesan yang mendalam pada
penonton. Daya tarik ini selain melebihi radio, juga melebihi film bioskop,
sebab segalanya dapat dinikmati di rumah dengan aman dan nyaman, sedang pesawat
yang kecil mungil itu dapat menghidangkan selain film juga program menarik
lainnya. Tampaknya, gambar hidup yang didukung oleh suara merupakan bahasa manusia
yang universal, dan lambang komunikasi itulah yang sangat diandalkan oleh
televisi. Karena manusia dalam berkomunikasi banyak sekali bergantung kepada
indra studio dan video, maka berita-berita televisi bagi khalayak akan bersifat
lebih akurat, lebih teliti, lebih jelas, dan lebih dapat dipercaya. Di samping
itu juga, sama dengan film, televisi mengandalkan kode analogis dan kode
mediator dalam ilmu komunikasi. Dengan demikian siaran ataupun beritanya
menciptakan semacam proses melek gambar (visual literacy). Dengan kata lain,
dalam jangka waktu tertentu anggota khalayak yang tuna aksara akan memahami
juga apa yang mereka tonton di layar televisi. Televisi sebagai media massa,
merupakan jenis ke-empat yang hadir di dunia, setelah kehadiran pers, film dan
radio. Televisi telah mengubah dunia dengan terciptanya dunia baru bagi
masyarakat, dengan seluruh keunggulan dan kelemahannya sebagai media. Televisi
telah merupakan penggabungan antara radio dan film, sehingga
kekurangan-kekurangan yang ada pada radio dan film, tidak lagi dijumpai dalam
penyiaran televisi. Dari sini, maka televisi sangat penting untuk menjadi media
dakwah. Umumnya lembaga penyiaran televisi di Indonesia menyediakan waktu untuk
kegiatan dakwah, seperti azan magrib atau acara-acara khusus pada bulan
Ramadan, dan Idul Fitri serta Idul Adha.[8]
Kelebihan televisi sebagai media dakwah jika dibandingkan dengan media yang
lainya adalah:
·
Media
televisi memiliki jangkauan yang sangat luas sehingga ekspansi dakwah dapat
menjangkau tempat yang lebih jauh. Bahkan pesan-pesan dakwah bisa disampaikan
pada mad’u yang berada di tempat-tempat yang tidak sulit dijangkau.
·
Media
televisi mampu menyentuh mad’u yang heterogen dan dalam jumlah yang besar. Hal
ini sesuai dengan salah satu kharakter komunikasi massa yaitu komunikan yang
heterogen dan tersebar. Kelebihan ini jika dimanfaatkan dengan baik tentu akan
berpengaruh positif dalam aktifitas dakwah. Seorang da’i yang bekerja dalam
ruang yang sempit dan terbatas bisa menjangkau mad’u yang jumlahnya bisa jadi puluhan
juta dalam satu sesi acara.
·
Media
televisi mampu menampung berbagai varian metode dakwah sehingga membuka peluang
bagi para da’i memacu kreatifitas dalam mengembangkan metode dakwah yang paling
efektif.
·
Media
televisi bersifat audio visual. Hal ini memungkinkan dakwah dilakukan dengan
menampilkan pembicaraan sekaligus visualisai berupa gambar.[9]
5. Kekurangan
Dakwah Melalui Media Televisi
Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana disebutkan
diatas, dakwah menggunakan media televisi juga mempunyai berbagai kelemahan.
Dalam kasus Indonesia hal ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi pertelevisian
yang ada. Dalam bidang sinetron misalnya, Srikit Syah mengungkapkan bahwa
sinetron Indonesia berkembang dari segi jumlah, namun kualitasnya
memprihatinkan. Ceritanya menjual mimpi, jauh dari kenyataan. Sinetron yang
mendominasi jam tayang utama tak jauh beda dari sinetron Amerika Latin,
Thailand dan Philipina. Hal ini berbeda dengan India yang mempunyai ciri khas
budaya yang kuat dan konsisten. Sedangkan Indonesia seringkali mencontoh kostum
Beverly Hills, Plot Konflik, Melrose Place, dan melodrama Maria Marcedes dalam
suguhanya . Demikian pula “sinetron Islami” yang sering kita lihat selama ini
sebagian besar belum mencerminkan ajaran Islam yang sesungguhnya. Bahkan
terkadang ada suguhan adegan-adegan yang tidak layak ditampilkan dan menyalahi
norma ke-Islaman. Disamping itu masih ada beberapa kondisi memprihatinkan
lainya dari pertelevisian Indonesia.
Secara umum kelemahan-kelemahan itu antara lain;
·
Cost
yang terlalu tinggi untuk membuat sebuah acara Islami di televisi
·
Terkadang
tejadi percampuran antara yang haq dan yang bathil dalam acara-acara televise
·
Dunia
pertelevisian yang cenderung kapitalistik dan profit oriented
·
Adanya
tuduhan menjual ayat-ayat Qur’an ketika berdakwah di televise
·
Keikhlasan
seorang da’i yang terkadang masih diragukan
·
Terjadinya
mad’u yang mengambang
·
Kurangnya
keteladanan yang di perankan oleh para artis karena perbedaan kharakter ketika
berada didalam dan di luar panggung.[10]
Daftar
Pustaka
Darwanto,
Televisi Sebagai Media Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar)
Ghan,
Zulkiple, Abd. i; islam, komunikasi dan
tekhnologi maklumat, Jakarta
Hafidhuddin,
Didin; media massa dakwah
Maswan
dkk, 2010, Teknologi Pendidikan Jilid 2,(Karsa
Manunggal Indonesia)
Jurnal
Komunikasi Islam, AT-TABSYIR
Jurnal
Komunikasi Penyiaran Islam, AT-TABSYIR
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/komunikasi/article/download/1642/1478 diakses pada 27/06/2018 pukul 21:00
http://strategidakwahmelaluimediamassa.blogspot.com/
diakses pada tanggal 23 Juni 2018 pukul 20:00
http://strategidakwahmelaluimediamassa.blogspot.com/
diakses pada tanggal 23 Juni 2018 pukul 20:00
http://fandyiain.blogspot.com/2010/05/perkembangan-dakwah-islam-melalui-media.html
diakses pada tanggal 27 Juni 2018 pukul 20:30
[1] Jurnal Komunikasi Islam,
AT-TABSYIR
[2] http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/komunikasi/article/download/1642/1478
diakses pada 27/06/2018 pukul 21:00
[3] Jurnal Komunikasi Penyiaran
Islam, AT-TABSYIR
[4] Darwanto, Televisi Sebagai Media Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar),
2007, hal. 71-72
[5] Maswan dkk, Teknologi Pendidikan
Jilid 2,(Karsa Manunggal Indonesia, 2010), hlm. 75-76
[6] Zulkiple Abd.
Ghani; islam, komunikasi dan tekhnologi maklumat, Jakarta halaman 34-35
[7] http://fandyiain.blogspot.com/2010/05/perkembangan-dakwah-islam-melalui-media.html diakses pada tanggal 27 Juni
2018 pukul 20:30
[8] Didin
Hafidhuddin; media massa dakwah, halaman 102
[9] http://strategidakwahmelaluimediamassa.blogspot.com/ diakses pada tanggal 23 Juni
2018 pukul 20:00
[10] http://strategidakwahmelaluimediamassa.blogspot.com/ diakses pada tanggal 23 Juni
2018 pukul 20:00
Komentar
Posting Komentar