I.
Pendahuluan
A. Latar
Belakang
Dalam sejarah
perhimpunan dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan
bertahap dibandingakan perkembangan kodifikasi Al-Quran. Hal ini wajar saja karena Al-Quran
pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya, sekalipun sangat sederhana, dan mulai
dibukukan pada masa Abu Bakar, Khalifah pertaaama Khulafa Ar-Rasyidin dan
penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang disebut dengan
Tulisan Utsmani (Khatbah ‘Utsmani). Sedangkan penulisan pada masa Nabi secara
umum justru dilarang. Pembahasan mengenai penulisan hadis Nabi, tidak dapat
dilepaaskan dengan munculnya dua redaksi hadis di satu sisi berisi larangan
penulisan hadis, namun sisi lain ditemukan hadis yang berisi anjuran penulisan
hadis.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
penghafalan hadis pada masa Nabi SAW?
2. Bagaimana
larangan penulisan hadis?
3. Bagaimana
anjuran penulisan hadis?
4. Bagaimana
penulisan hadis pada masa Nabi SAW?
5. Bagaimana
penulisan hadis pada masa Khulafa Ar-Rasyidin?
II.
Pembahasan
A. Penghafalan
hadis pada masa Nabi SAW

Kemudian terekamlah lafal dan makna itu dalam sanubari
mereka. Mereka dapat melihat langsung apa yang Nabi kerjakan. atau mendengar
pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari nabi, karena tidak semua dari
mereka pada setiap waktu dapat mengikuti atau menghadiri majelis Nabi.
Kemudian para sahabat menghapal setiap apa yang diperoleh
dari sabda-sabdanya dan berupaya mengingat apa yang pernah Nabi lakukan, untuk
selanjutnya disampaikan kepada orang lain secara hapalan pula.
Hanya beberapa orang sahabat saja yang mencatat hadis yang
didengarnya dari Nabi SAW. Di antara sahabat yang paling banyak
menghapal/meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah. Menurut keterangan Ibnu Jauzi
bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sejumlah 5.374 buah hadis. Kemudian para sahabat yang
paling banyak hapalannya sesudah Abu Hurairah ialah:
1. Abdullah bin Umar r.a. meriwayatkan
2.630 buah hadis.
2. Anas bin Malik meriwayatkan 2.276
buah hadis.
4. Abdullah ibnu Abbas meriwayatkan 1.660
buah hadis.
5. Jabir bin Abdullah meriwayatkan
1.540 buah hadis.
Hadis pada waktu itu
hanya diingat dan dihafal aja, belum dibukukan seperti Al-Quran karena situasi
dan kondisi yang tidak memungkinkan. Dr Mushtafa As-Siba’i menyampaikan
beberapa alasannya:
1. Al-Quran
masih turun kepada Nabi SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederana dan
masih belum dibukukan.
2. Kemampuan
tulis menulis para sahabat pada awal Islam masih angat sedikit dan mereka sudah
difungsikan sebagai penulis wahyu Al-Quran
3. Ingatan
orang arab yang bersifat Ummi (tidak bisa baca tulis) namun hafalannya sangat
kuat
B. Larangan
penulisan hadis
Hadis telah ditulis
slama masa idup Nabi, namun dalam periode setelah Nabi wafat penulisan hadis
tidak saja kurang mendapat perhatian, bahkan ditantang oleh beberapa sahabat
Nabi. Salah satu sebabnya adalah ditemukannya redaksi hadis Nabi
terang-terangan melarang penulisan hadis. Setelah dilakukan penelusuran, ada
tiga hadis yang melarang penulisan hadis, yang diriwayatkan oleh Abu sa’id
al-Khuzri, Abu Hurairah dan Zaid bin Sabit. Dari ketiga jalur ini, dua hadis
berkualitas dhaif. Hanya hadis yang berasal dari jalur Abu sa’id al-Khuzri yang
dapat dipertanggungjawabkan otentisitasnya.
C. Anjuran penulisan hadis
Terdapat delapan buah hadis yang mengijinkan bahkan menyuruh
sahabat untuk menulis hadis.[1]
Diantara hadis yang dimaksud adalah ketika Makkah dibebaskan (fath Makkah),
Nabi berpidato dihadapan umat islam. Ketika itu, seorang dari Yaman yang
bernama Abu Syah minta kepada Nabi agar dituliskan isi pidato itu kepadanya.
Nabi kemudian menyuruh para sahabat dengan sabdanya; “Tuliskanlah untuk Abu
Syah.[2]
D. Penulisan hadis pada masa Nabi
Muhammad SAW.
Semasa Rasullallah masih hidup, ada tiga cara yang para
sahabat bisa dapatkan berkenaan hadis Nabi.
· Pertama, ada peristiwa yang terjadi
pada diri Nabi sendiri kemudian beliau jelaskan kepada sahabat-sahabatnya.
Contoh ketika Nabi masuk kamar Aisyah dan ada patung disitu. Rasulallah
bersabda: manusia yang paling pedih siksanya kelak dihari kiamat adalah orang
yang membuat patung yang menyerupai ciptaan Allah.
· Kedua, terdapat peristiwa yang
terjadi dikalangan umat islam dan mereka meminta penjelasan kepada Nabi,
seperti kasus apa yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Talib ketika dia bertanya
“Saya adalah laki-laki yang sering keluar mazi (cairan yang biasanya keluar
saat laki-laki terangsang secara seksual, tetapi bukan sperma). Akan tetapi,
lanjut Ali: “Saya malu bertanya mengenai hal ini kepada Nabi karena putrid
beliau (Fathimah istri Ali adalah puteri Beliau). Maka, saya meminta al-Miqdad
bin al-Aswad untuk bertanya kepada Nabi dan Nabi pun menjawab “dia cukup
membasuh kemaluannya dan dia langsung bissa wudhu”.
· Ketiga, terdapat peristiwa atau
kejadian-kejadian yang berkenaan dengan Nabi dan semua itu disaksikan oleh para
sahabat. Hal seperti ini sangat banyak, misalnya hal-hal yang berkenaan dengan
shalat, puasa, zakat, haji, perjalanan Nabi dll.[3]
E. Penulisan hadis pada masa Khulafa
Ar-Rasyidin
1. Hadis pada masa Khalifah Abu Bakar
As-Siddiq
Pada masa pemerintahan Abu Bakar periwayatan hadis dilakukan
dengan sangat hati-hati. Sikap ketat dan kehati-hatian Abu Bakar tersebut juga
ditunjukan dengan tindakan konkrit beliau, yaitu dengan membakar
catatan-catatan hadis yang dimilikinya. Ha ini sebagaimana diriwayatkan Aisyah,
putri Abu Bakar bahwa Abu Bakar telah membakar catatan yang berisi sekitar 500
hadis. Tindakan Abu Bakar tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan karena
beliau khawatir berbuat salah dalam meriwayatkan hadis.[4]
Perlu dicatat seandainya informasi itu benar maka pembakaran yang dilakukan Abu
Bakar itu bukan berate penulisan hadis Nabi dilarang seperti yang ditundukan
Abu Rayyah. Dan pada masa Abu Bakar belum ada usaha serius yang dilakukan dalam
upaya penulisan lebih-lebih pembukuan hadis. Apalagi pada saat itu para sahabat
Nabi sangat disibukkan dengan upaya kodifikasi al-Quran. Justru kebijakan
politik yang sangat kelihatan pada masa Abu Bakar adalah kebijakannya dalam
upaya pembukuan al-Quran.
2. Hadis pada masa Khalifah Umar Ibn
al-Khattab
Umar Ibn al-Khattab hendak untuk menulis sunnah Nabi. Dalam
urusan ini beliau bermusyawarah dengan para sahabat Nabi. Seluruh sahabat
sepakat bahwa sunnah Nabi hendaknya ditulis. Tetapi umar merenungkan masalah
ini (dalam riwayat al-Zuhri, Umar mempertimbangkan sampai sebulan lamanya untuk
mencari petunjuk Allah), hingga suatu pagi dia memutuskan dan berkata “Saya
bermaksud menulis sunnah, teteapi kemudian saya teringat orang-orang sebelum
kalian yang menulis kitab lain dan mengabaikan kitabullah. Demi Allah, saya
tidak akan menutupi kitabullah sedikitpun.” Bterdasarkan riwayat tersebut
terlihat jelas bahwa seluruh sahabat minimal yang diajak bermusyaawarah
menyetujui penulisan hadis. Tetapi Umar merenung satu bulan dan melarang
penulisan itu. Karena pada masa Umar masih harus berkonsentrasi pada al-Quran
yang masih belum usai. Artinya jika perhatian para sahabat beralih kepada
hadis, maka persoalan al-Quran sebagai sumber utama bisa terabaikan.[5]
Apalagi kodifikasi al-Quran belum sempurna dilakukan, sehingga peluang untuk
sulit membedakan antara hadis dan ayat-ayat al-Quran sangat lebar.
3. Hadis pada masa Khalifah Utsman bin
Affan
Kebijakan yang pernah diambil oleh Abu Bakar dan Umar
ternyata diikuti oleh Khalifah selanjutnya, Utsman bin Affan. Usaha pembatasan
yang dilakukan Utsman yang lembut, tidak setegas yang dilakukan Umar. Sikap
Utsman ini dapat dilihat misalnya ketika beliau sedang khutbah, dimana Utsman
meminta sahabat agar tidak meriwayatkan hadis yang tidak pernah mereka dengar
pada masa Abu Bakar dan Umar.[6]
Dengan pernyataan itu, sebenarnya pada satu sisi Utsman ingin menunjukan sikap
kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis Nabi sebagaimana dua Khalifah terdahulu
pun bukan berati sama sekali tidak ada periwayatan hadis. Meskipun Utsman telah
menyampaikan seruan untuk berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, namun pada
zaman ini kegiatan umat islam dalam periwayatan hadis lebih banyak dibandingkan
dua Khalifah sebelumnya. Sebab, seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya
terhadap para periwayat yang bersifat longgar dalam periwayatan hadis.
4. Hadis pada masa Khalifah Ali bin Abi
Talib
Semasa Rasullalah masih hidup, Ali juga termasuk salah
seorang sekertaris Nabi SAW. Seperti yang diceritakan Ummu Salamah, istri Nabi,
“Rasulallah SAW minta diambilkan kulit dan Ali bin Abi Talib ada disisi
Rasulallah SAW. Rasulallah lalu mendiktekan hadisnya dan Ali menulisnya sampai
kulit itu penuh dengan tulisan, baik luar, dalam maupun ujung-ujungnya”. Beliau
mempunyai Shahifah dari Rasulallah yang disimpan dalam sarung pedangnya.[7]
Terdapat dua kelompok dalam hal merespon penulisan hadis. Pertama, ini cukup
kuat karena backup kebijakan penguasa, kelompok sahabat yang tetap patuh pada
kebijakan itu sehingga mereka enggan melakukan penulisan hadis. Kedua, kelompok
sahabat yang tetap melakukan penulisan hadis maskipun secara politik meereka
dianggap melanggar kebijakan penguasa. Hal ini bisa ditunjukan dengan munculnya
tulisan-tulisan hadis dari kelompok kedua ini seperti al-Sahifah al-sadiqah
Abdullah Ibn ‘Amr dan Shahifah Jabir bin Abdilah.
III.
Kesimpulan
Hadis pada masa Nabi
hanya diingat dan dihafal karena khawatir jika hadis dan al-Quran tercampur
karena sama-sama menggunakan bahasa arab. Bahkan terdapat hadis yang melarang
untuk menulisnya. Namun Rasulallah secara tidak langsung menganjurkan untuk
menulis hadis. Penulisan hadis pada masa ke masa relative hamper sama, di masa
Kekhalifahan, Khalifah Abu bakar, Umar dan Utsman penulisan hadis dilakukan
sangat berhati-hati dan berfikir untukvtidak menulisnya, sedangkan masa
Khalifah Ali, Rasulallah mendiktekan hadis untuk ditulis oleh Ali.
Sumber
Majid Khon, A. 2012. Ulumul
Hadis. Edisi 2. Jakarta. Amzah
Sattar Abdul. 2015. Ilmu
Hadis. Semarang. Karya Abdi Jaya
[1]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al-Sunah Qabl al-Tadwin (Kairo; Maktabah Wahbah,
1963),h. 303-305
[2]
Ibnu ‘Abdil Bar, Jami Bayan al-Ilmi wa Fadihi (Beirut : Dar al-Fikr, t.th), juz
I,h. 76-93)
[3]
Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, al Sunnah Qabl al-Tadwin (Kairo; Maktabah Wahbah,
1963),h. 60-65
[4]
Muhammaad Nor Ichswan. Studi ilmu hadis (Semarang: Pust\aka Rasail, 2007), h.
79-81
[5]
‘Ajjaj al-Khatib, al-sunah…,op.cit., h. 92-96
[6]
Muhammad Nor Ichswan, op., cit., h. 84-85
[7]
Muhammad Mustafa Azami, Hadis Nabawi… h. 179
Komentar
Posting Komentar